Hari Guru yang diperingati setiap tahun pada tanggal
25 Nopember, tidak cukup sekedar memperingatinya secara seremonial,
tetapi lebih dari itu, harus dijadikan momentum untuk refleksi dan
reintrospeksi atas peran menjadi seorang guru.
Pilihan untuk menjadi guru tentu saja bukan tanpa alasan. Guru adalah
profesi yang telah ada semenjak peradaban manusia itu ada. Bahkan guru
menjadi salah satu penjamin keberlangsungan peradaban. Jika pilihan
untuk menjadi guru itu tetap dijalani hingga kini, tentu saja karena
atas dasar idealisme dan kecintaan.
Letakkan tulisan sobat blogger disini...!!!
Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki.
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi.
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri.
Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyesali diri.
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri.
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri.
Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai.
Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan, ia belajar keadilan.
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan.
Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi dirinya.
Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.
Meski akhirnya harus diakui, bahwa masih ada dilemma antara
idealisme/kecintaan dengan kesejahteraan, Ironi yang cukup lama
bertahan mengenai sosok kehidupan seorang guru, dimana mereka harus
menjalani hidup pas-pasan dan terkadang harus terseok-seok untuk bisa
bertahan hidup, diri dan keluarganya. Namun, ironi tersebut kini
perlahan-lahan mulai pupus ketika pemerintah memberi perhatian melalui
alokasi anggaran negara untuk sektor pendidikan, sebagai upaya memenuhi
amanat Undang-Undang Dasar 1945, yaitu dengan mengalokasikan anggaran
pendidikan sebesar 20 persen dari total jumlah Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN).
Sekarang ini, problematika guru pada tataran perjuangan meningkatkan
kesejahteraan, mulai teratasi. Menjadi guru bukan lagi pilihan yang
dilematis melainkan sebuah pilihan yang prestisius. Antara idealisme,
kecintaan dan kesejahteraan kini bisa berjalan berdampingan. Guru kini
dapat berjalan dengan tubuh tegak dan penuh kebanggaan. Bahkan melalui
program sertifikasi, profesi profesi guru kemudian jadi pilihan dan
incaran. Perguruan tinggi yang menyediakan fakultas keguruan dan ilmu
pendidikan (FKIP), kini mulai diserbu ribuan pendaftar. Bahkan
sarjana-sarjana dari jalur non kependidikan , kini mendaftar pada
perguruan tinggi yang menyelenggarakan Pendidikan Profesi Guru (PPG).
Tujuannya utamanya : Menjadi Guru. Apakah karena pertimbangan idealisme,
ataupun semata-mata peningkatan kesejahteraan yang menjanjikan ?
Entahlah.
Semenjak penetapan guru sebagai profesi pada peringatan Hari Guru
Nasional tahun 2004 oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono,
pemerintah dan masyarakat memosisikan profesi guru sangat terhormat,
baik secara formal maupun sosial, Penetapan ini diharapkan menjadi
tonggak awal bangkitnya apresiasi pemerintah dan masyarakat terhadap
profesi guru, yang ditandai dengan dilakukannya reformasi profesi guru,
meliputi peningkatan kualifikasi dan kompetensi, program sertifikasi,
pemberian penghargaan, perbaikan kesejahteraan dan perlindungan hukum.
Adanya peningkatan kesejahteraan bagi guru, tidak luput memunculkan
kekhawatiran bergesernya orientasi ketika memilih profesi guru.
Berlomba-lombanya orang untuk meraih profesi guru, semata-mata hanya
karena janji pemerintah untuk memberikan penghargaan materi yang tinggi,
dikhawatirkan melahirkan tenaga pendidik yang mengajar tanpa filosofi,
idealisme dan kecintaan yang transenden (suci).
Oleh karena itu, merefleksikan 68 Tahun Hari Guru Indonesia, tidak lagi sekedar berbicara soal kesejahteraan guru, karena harapan untuk hidup layak dan terhormat, sudah didukung oleh perangkat kebijakan pemerintah. Pertanyaan yang penting dan mendasar sebagai bahan refleksi kita adalah “ Bagaimana menjadi guru sejati”. Guru yang benar-benar menjadi ’guru’, bukan lagi sekedar digugu dan ditiru (ditaati dan dicontoh), apalagi bukan sekedar “digugulung di juru” (dikerumuni para siswanya).
Oleh karena itu, merefleksikan 68 Tahun Hari Guru Indonesia, tidak lagi sekedar berbicara soal kesejahteraan guru, karena harapan untuk hidup layak dan terhormat, sudah didukung oleh perangkat kebijakan pemerintah. Pertanyaan yang penting dan mendasar sebagai bahan refleksi kita adalah “ Bagaimana menjadi guru sejati”. Guru yang benar-benar menjadi ’guru’, bukan lagi sekedar digugu dan ditiru (ditaati dan dicontoh), apalagi bukan sekedar “digugulung di juru” (dikerumuni para siswanya).
Meski masih tetap berhadapan dengan berbagai kebijakan dan isu politik
pendidikan yang masih berorientasi pada kepentingan kekuasaan. Meski
harus berhadapan dengan kenyataan bahwa guru “dipaksa” untuk menjadi
robot kurikulum dan berbagai proyek berbiaya mahal yang mengatasnamakan
gagasan peningkatan kualitas pendidikan nasional. Meski harus berhadapan
dengan kenyataan bahwa pemerintah masih tetap ingin menyelenggarakan
ajang Ujian Nasional (UN) yang konon dianggap pemerintah sebagai alat
mengukur kepintaran anak didik. Guru harus tetap cerdas untuk menyiasati
kebijakan tersebut tanpa kehilangan identitas dan kesejatiannya.
Guru sejati adalah sumber inspirasi bagi para anak didiknya. Guru
sejati adalah ruang yang memberi keleluasan bagi anak didiknya untuk
berinteraksi dengan kehidupannya. Guru sejati harus selalu menyediakan
waktu untuk bermetamorfosis dari sekadar pengajar menjadi pendidik,
pengukir sejarah, yang mengajarkan hikmah kepada para anak didiknya
untuk menjadi manusia-manusia utuh dan memberikan keteladanan dalam
kehidupannya. Guru sejati senantiasa mengasah diri lahir batin untuk
dapat menjadi pribadi yang mampu mengenali setiap potensi para anak
didiknya dan berkemampuan membangkitkan potensi tersebut. Guru sejati
memiliki cara pandang yang luas buat mengelola dunia anak-anak agar
menjadi anak-anak peradaban yang memiliki akar pada nilai-nilai agama
dan budaya yang teguh, sekaligus mampu menjangkau peradaban global.
Guru sejati harus mampu membimbing anak didik menemukan konsep dirinya.
Konsep diri adalah pandangan dan perasaan tentang diri kita (Jalaluddin
Rakhmat, 2001 : 99). Konsep diri ini akan sangat menentukan tentang
kepribadian kita sebenarnya. Salah satu faktor yang amat menentukan
konsep diri seseorang adalah lingkungannya. Maka, guru yang baik,
sejatinya mampu menciptakan lingkungan yang baik bagi anak didiknya
untuk tumbuh dan berkembang. Senyuman, pujian, penghargaan dan pelukan
pelukan kasih sayang seorang guru akan menciptakan konsep diri positif
pada anak didiknya. Begitu pula ejekan, cemoohan dan hardikan akan
membuat anak didik menilai dirinya secara negatif. Tulisan ini ingin
diakhiri dengan kutipan bait-bait puisi yang dikarang oleh Dorothy Law Nolte berikut ini :
Anak Belajar dari Kehidupannya
Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki.
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi.
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri.
Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyesali diri.
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri.
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri.
Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai.
Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan, ia belajar keadilan.
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan.
Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi dirinya.
Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.